Cerita Sex Bergambar : Memperkosa SPG Mobil Bening yang Sombong - Kudekati telinga Vera, dia yang sudah ketakutan padaku, dia berusaha menjauhkan kepalanya, mungkin dikiranya aku mau menggigit telinganya. Kubisikkan sesuatu di telinga Vera, “Vera, gimana kalau kita ganti alatnya, sekarang pakai ikat pinggang saja ya”, bisikku sambil menyeringai sadis.Vera menunjukkan ekspresi terkejut setengah tidak percaya bahwa dia akan menerima siksaan yang lebih hebat. “Ampun.. lepaskan saya..” ibanya meskipun tahu aku tidak akan melepaskannya.
Kubuka ikat pinggangku yang terbuat dari kulit, kulilitkan sebagian pada telapak tanganku, Vera melirikku dengan ketakutan yang amat sangat, nafasnya tersenggal-senggal meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengaturnya. Mungkin dengan mengatur napas dia berharap sabetan ikat pinggangku tidak akan terlalu sakit. Kuangkat tinggi tanganku dan kuayunkan dengan keras, Vera memejamkan matanya, saat ikat pinggangku mendarat di pahanya terdengar meja yang ditiduri Vera agak berderit karena tubuh Vera secara spontan bergetar keras menahan sakit. “Ahh.. ampun.. ampun.. hahh.. hahh..” Vera berkata tersendat-sendat. Kali ini bukan hanya garis merah yang tampak, tetapi semacam jalur merah tercetak di paha Vera.
“Ceplass.. Ceplass..” sabetan ikat pinggangku semakin liar menghujani tubuh Vera. Vera sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya menggeleng ke kiri ke kanan menahan penderitaan yang kuberikan. Puas dari samping, “Bagaimana kalau pukulan yang mengarah langsung ke liang kewanitaannya?” pikirku. Lalu aku mulai menyobek CD-nya dan minta kepada dua temanku untuk melepaskan ikatan kaki Vera dan mengikatnya kembali pada posisi menekuk ke atas dan mengangkang, sehingga liang kewanitaannya terbuka lebar. Vera berusaha meronta dan menutup liang kewanitaannya dengan kakinya, namun ikatan kami cukup erat sehingga kedua kakinya tidak bisa mengatup. Persis menghadap liang kewanitaannya, aku mengelus-elusnya sambil tersenyum sinis. Vera mengangkat kepalanya dan menatapku dengan pandangan nanar.
Aku mulai menjauh, ikat pinggang mulai kuputar-putar, lalu.., “Ceplass..” ikat pinggang itu mendarat dengan tepat di bibir liang kewanitaan Vera. Kali ini Vera meronta-ronta dengan sangat dan cukup lama, tampaknya dia sangat kesakitan, kepalanya ditengadahkan ke atas sembari mengguncang-guncangkan pantatnya di atas meja. Aku berjalan ke sampingnya, “Lagi?” tanyaku seolah tak menghiraukan penderitaannya. Vera tidak mengatakan apa-apa, kelihatannya dia sudah pasrah. Aku tersenyum penuh kemenangan, kusentuh bibir liang kewanitaannya yang tentunya masih pedih, Vera menggelinjang, tak peduli kugesek-gesekan jariku di liang senggamanya, tubuh Vera terus menggelinjang. “Sakitt.. sakitt..” gumamnya lirih.
Seolah tak peduli, kembali aku mengambil dua jepitan, dan kujepit di kedua bibir liang kewanitaan yang memerah itu. Vera menatapku dengan pandangan tak percaya akan kesadisanku. “Oke”, kataku, “Tidak ada lagi pukulan..”, Vera diam saja tanpa ekspresi, “..tapi sekarang waktunya bermain lilin”, lanjutku sambil menyunggingkan senyum. Kali ini Vera menolehkan wajahnya yang layu, berkeringat dan basah karena air matanya. Bisa kubaca dalam pikirannya, “Oh.. apa lagi yang akan diperbuatnya pada tubuhku.. malangnya nasibku..”
Memang di kamar Aguk ada beberapa lilin untuk jaga-jaga jika lampu mati, ada yang kecil dan ada juga yang besar supaya awet. Kuambil Zippo-ku, kunyalakan satu lilin yang kecil. Lidah api menari berputar-putar melelehkan batang lilin yang menahannya. Menembus lidah api itu, kulihat pandangan Vera yang berharap aku hanya bercanda. Kujawab dengan pandangan juga yang menyatakan bahwa aku serius. Segera lilin yang kupegang kumiringkan di atas payudara Vera. Kulihat ekspresi Vera yang memandang lekat batang lilin yang terkena nyala api, pandangannya seolah berharap agar lilin tersebut tidak meleleh atau apinya tiba-tiba mati. Tapi tentu saja itu tidak terjadi, yang terjadi adalah tetesan pertama jatuh dan menetes di atas puting susu Vera sebelah kanan.
“Hhh..” Vera mendesah, punggungnya terlihat bergerak ke atas menahan panas lilin yang meleleh. Tetesan demi tetesan bergerak jatuh, dan Vera terlihat semakin kesakitan karena tetesan tersebut jatuh di tempat bekas pecut dan sabetan ikat pinggangku tadi. Tiba-tiba teman-temanku ikut bergabung, mereka semua memegang lilin bahkan tidak hanya satu tapi tiga atau empat sekaligus. Mereka dengan gembira meneteskan ke bagian-bagian sensitif Vera, seperti buah dada, pusar, sekitar liang kewanitaan dan paha. Kali ini Vera seperti ular kepanasan, dia meliuk-liukkan tubuhnya menahan panas tetesan lilin.
Seperti biasa, setelah puas pada bagian tubuh Vera, aku pun mengambil sebuah lilin dengan diameter yang besar dan menyalakannya. Setelah menunggu agak lama supaya lelehan lilin cukup banyak di atas lilin itu, aku kembali mengelus-elus liang kewanitaan Vera. Vera langsung berkata, “Tidakk.. jangan.. jangan Mas..”, aku pun tersenyum penuh nafsu mendengar nada yang memelas itu. Tapi tetap saja lilin yang besar itu kumiringkan di atas liang kewanitaan Vera, Vera berusaha mengelak dengan menggeser pantatnya, “Pintar juga dia”, pikirku, tapi karena lelehan lilin ini masih banyak, dengan leluasa aku “menaburkan” tetesan-tetesannya ke liang kewanitaannya. Tak ayal bagaikan lahar panas tetesan tersebut mengalir ke liang kewanitaan Vera dan mungkin ke dalamnya.
“Errgghh..” gumam Vera, dia langsung menggoyang-goyangkan pantatnya dan menengadahkan kepalanya menahan panas dan sakit, dengan mulutnya yang menggigit rapat dan matanya terpejam erat. Kemudian kucoba untuk memasukkan sebuah lilin kecil ke anusnya, sulit sekali karena anusnya begitu rapat, aku memasukkan jariku terlebih dahulu dan menggesek-geseknya agar anusnya membesar. “Aduh.. aduh..” ucap Vera, tapi aku tidak peduli, setelah anusnya membesar mulai kutancapkan sebuah lilin di anusnya. Dan ide cemerlangku muncul lagi, kunyalakan lilin yang menancap itu dan setelah cukup lama, kutiup apinya dan kubalik, jadi yang menancap adalah bagian yang barusan menyala. “Jess..” bunyi panas lilin bercampur dengan cairan yang keluar dari anus Vera. Tentu saja Vera menggeliat kesakitan, pantatnya dibentur-benturkannya ke meja seakan ingin melepaskan lilin yang menancap di anusnya. Aku tersenyum senang sambil kumasuk-keluarkan lilin tadi di anus Vera.
Karena sudah puas menyiksa Vera, aku kasih kesempatan kepada teman-temanku untuk menyetubuhinya. Teman-temanku begitu gembira, mereka langsung beraksi, sementara aku melihat pertunjukkan ini dengan kepuasan total. Mereka melepas ikatan Vera yang sudah tidak berdaya itu, lalu tubuhnya dibalik dan pantatnya ditarik ke atas sehingga dalam posisi menungging. Aku melihat Vera diam saja, mungkin dia sudah capai dan pasrah serta tidak punya harapan hidup lagi. Wajahnya yang cantik terlihat sangat lesu dan seolah-olah siap diperlakukan apa saja. Dodot dengan tubuhnya yang besar mulai membuka celana dan melakukan penetrasi, langsung sodomi. Vera membelalak tak menyangka bahwa ada benda sebesar itu yang harus masuk ke anusnya. Belum selesai dia “menikmati” penderitaan karena ulah Dodot, Aguk langsung menyelinap ke bawah tubuh Vera dan berusaha memasukkan batang kemaluannya ke liang kewanitaan Vera.
Vera melolong kesakitan karena anus dan liang kewanitaannya yang sudah lecet dan perih terkena sabetan ikat pinggang dan tetesan lilin, masih harus bergesekan dengan batang kemaluan teman-temanku. Tubuhnya terguncang ke depan berulang-ulang setiap kali Dodot dan Aguk menghunjamkan batang kemaluannya. Payudaranya berguncang keras persis di atas wajah Aguk yang dengan penuh nafsu meremas sekuatnya. Masih tersiksa dengan keadaan begitu, Bimo mengeluarkan kepunyaannya dan minta dikaraoke oleh Vera. Rintihan Vera menjadi tersendat-sendat karena tersedak dan batuk, Bimo bukannya kasihan malahan dia semakin terangsang sehingga dia menghunjamkan batang kemaluannya ke mulut dan tenggorokan Vera berulang-ulang.
Aku tersenyum saja melihat kelakuan teman-temanku yang brutal, lalu kudekati Vera sambil berkata, “Vera.. punggungmu masih mulus lho.. aku cambuk ya..” Karena tidak mungkin menggunakan pecut dan ikat pinggang sebab bisa mengenai Aguk yang berada di bawah tubuh Vera, maka aku menggunakan rotan yang tadi sebagai pegangan untuk pecut, rotan ini ujungnya memecah sehingga sangat cocok untuk menimbulkan rasa sakit.
Segera kuraih rotan itu dan kupukulkan berulang-ulang ke punggung Vera. Tubuh Vera terlihat menggelinjang dan menggeliat seiring dengan hujaman-hujaman yang diberikan oleh Dodot, Aguk dan Bimo serta siksaan cambukan rotan dariku. Dodot yang melihat punggung Vera terkena pukulan rotanku sangat terangsang dan segera memuntahkan maninya ke liang dubur Vera, lalu dia pun mencabut batang kemaluannya. Karena pantatnya kosong, atau tidak ada orang, aku pun dengan leluasa memukul pantatnya dengan rotan. Kulihat Vera sangat menderita, pantat yang baru saja dimasuki paksa oleh Dodot masih harus menerima siksaan rotanku.
Giliran Bimo yang ejakulasi, maninya langsung menyemprot ke tenggorokan Vera, membuatnya menjadi sulit bernafas dan seperti mau muntah. Melihat begitu semakin keras kupukulkan rotan ke pantatnya, bahkan ke belahan pantatnya. Tiba-tiba Vera lunglai, kelihatannya dia tak tahan lagi menerima siksaan kami, dia pingsan. Aguk yang belum selesai masih terus melakukan aksinya, sehingga tubuh Vera yang pingsan itu terguncang-guncang ke sana ke mari, akhirnya Aguk pun mencapai puncaknya dan menyemprotkan air maninya di dalam liang kewanitaan Vera yang masih pingsan. Aku sendiri sudah merasa puas dengan balas dendamku ini. Kami berempat tertawa dan puas.
Kami lalu membawa tubuh Vera untuk di”buang”, sebetulnya kami ingin menyimpannya untuk kenikmatan sehari-hari tetapi terlalu beresiko. Akhirnya tubuh Vera kami lempar di depan plaza tempat dia bekerja. Aku tersenyum puas karena sudah memberi pelajaran kepada SPG yang sombong itu, tapi dalam hati aku merasa ketagihan untuk menyiksa SPG yang lain, kusampaikan ini ke teman-temanku dan mereka semuanya setuju untuk suatu waktu menculik dan menyiksa SPG yang lain.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar